Ini segala penjelasan
untuk semua orang yang belum puas dengan perubahan yang besar yang gue ambil
sekarang. Untuk sahabatku, orang-orang yang sangat gue pedulikan, dan mungkin
untuk orang yang peduli dengan gue yang gue ngga tau.
“Karena gue sangat sadar ini menyangkut hubungannya dengan
Tuhan, gue nggak mau main-main.”
Aku akui, titik lemahku itu
adalah cowok. Bukannya gue maniak yang ngga bisa liat cowok kece dikit, atau
malah ngga bisa ngomong dan bertingkah normal depan cowok taksiran. Bukan semua
itu. Tetapi gue bakal menjadi orang yang ngga punya otak kayak kalau udah
menyangkut orang yang gue sayang. Itu diperparah dengan kenyataan gue adalah orang yang bisa
mengorbankan hidup gue buat yang gue cintai. Salah satu pengorbanan paling
nyata adalah, jiwa gue itu nggak ada sains-nya sama sekali, gue tipe yang
terlalu bebas dan berseni untuk mengambil kuliah di bidang paramedis. Gue
akhirnya mengubur impian menjadi desainer dan kuliah dengan bertanggung jawab
di kesehatan masyaarakat karena keinginan keluarga gue. Gue bersungguh-sungguh
berkarier di bidang yang bukan jiwa gue, itu demi kecintaan gue terhadap
almarhum ibu gue yang pesan terkahirnya untuk membahagiakan yang
ditinggalkannya. Gue bahkan berpikir keras untuk strategi kehidupan gue ke
depan yang ngga ada untuk kebahagiaan gue sendiri. Jadi bisa dibayangkan cinta
bisa membuat gue jadi nggak punya diri gue sendiri.
Pada dasarnya jiwa pengorbanan
gue emang kelewatan ngga pake otaknya. Untungnya keluarga gue nggak pernah
nuntut gue harus berpenampilan seperti apa, karena yang gue tangkep, mereka
selalu memberikan gue ruang pilihan untuk bertanggung jawab. Akhirnya gue
terbentuk menjadi orang yang terlalu banyak berpikir untuk segala kehidupan
gue, bahkan yang sepele. Karena dari SMP gue dipaksa untuk mendewasakan diri
dengan cepat akibat permasalahan hidup, dan ditambah kehilangan seorang Ibu
yang menjadi setengah bagian dari diri gue, gue terbentuk menjadi orang yang
sangat tahu apa yang gue lakukan, apa yang gue kerjakan dan bahkan untuk resiko
dan profit yang akan gue terima terhadap kegiatan baik-buruk yang gue lakukan.
Tetapi gue sadar, kelemahan gue
adalah orang yang gue cintai, gue bisa memberikan perubahan dalam hidup gue
untuk orang yang gue sayang tanpa berpikir. Seorang aisyah yang selalu melihat
dua sudut oandang dan forecasting setiap pilihan hidup tidak akan pernah bisa
berpikir jika itu mengenai hal yang gue cintai. Bahkan gue bisa berubah dengan
senang hati tanpa gue sadar itu sebenernya bukan keinginan gue. Inilah point
penting terhadap perubahan hidup gue, jilbab. Perubahan yang sacral, gue malah
tanpa fikir, dan ini kesalahan terbesar dalam hidup gue sebagai pemikir.
Awalnya gue berjilbab gue hanya
sadar bagaimana cara melogikakan alasan dan tindakan yang secara tepat yang
harus gue lakukan sebagai pilihan gue ini. Sebagai pemikir, orang-orang yang
mengenal gue akan melihat bahwa denga perubahan bertanggung jawab yang gue
lakukan perubahan ini gue pikirkan dengan sangat matang. Kenyataannya selama
dua tahun, gue bener-bener bertransformasi menjadi orang yang diinginkan dan
tetap bertahan tanpa cela untuk tetap terus berusaha mempertahankannya. Apalagi
gue berada di lingkungan yang sangat mendukung gue untuk berkerudung, mereka
mendukung kebaikan yang gue lakukan, bukan yang sebenernya hal terbaik untuk
diri gue. Tetapi mereka benar-benar sangat berarti dalam hidup gue, karena
mereka sangat mengerti gue, dan point pentingnya kita cocok dalam kebaikan itu.
Ketika masuk ke dalam fase gue harus berkembang dan dewasa karena kita punya
hidup masing-masing, awalnya gue ngerasa ini bukan masalah. Gue masuk ke dalam lingkungan yang berbeda,
lingkungan yang awal sebelum gue berubah menjadi ‘aisyah yang diinginkan’.
Gue memang orang yang adaptif,
tetapi gue nggak pernah melakukan sesuatu tanpa piker dan jika itu bukan yang
gue inginkan, gue nggak bakal lakukan bahkan walau itu permintaan lingkungan
gue. Gue merasa gue tetap menjadi diri gue dan bertanggung jawab memiliki
teman-teman yang di luar orang-orang yang berpengaruh sebelumnya. Yang harus
kalian pahami gue bukan orang kebawa arus, gue tau kalo gue lagi di arus itu,
dan memang gue yang mau kebawa arus itu, gue yang berenang di sana.
Dengan di luar lingkungan yang
mendukung ‘aisyah yang diinginkan’
akhirnya gue sadar, ternyata lepas memang ini bukan dari hati gue
sendiri. Kesalahan yang gue sadari bahwa perubahan bukan karena keinginan gue,
tetapi ini harapan dulu dari orang yang gue sayangi di masa lalu, dan keinginan
untuk tetap bertahan menjadi aisyah yang diinginkan dari orang yang
berpengaruh.
Lepas dari mereka yang baik dan
masuk ke lingkungan kiri bukan gue yang di rusak, tetapi mereka yang
menyadarkan gue, bahwa selama ini gue bukan menjadi diri gue sendiri. Makanya
pada akhirnya gue mencoba meyakinkan diri bahwa ini pilihan hidup gue mulai
saat ini, walaupun akhirnya permasalahan hati yang sudah terselesaikan membuat
hati kecil gue yakin bahwa ini benar-benar di luar kemauan aisyah.
Gue nggak mau main-main lagi, gue
nggak kuat bohongin Tuhan untuk menjadi baik padahal nggak mau. Karena ini
urusannya dengan Tuhan, makanya gue nggak mau main-main. GGue mau belajar dari
awal, mencari kebenaran dari hati sendiri tanpa campur tangan keinginan orang
lain. Tuhan itu yang paling utama, gimana kita bisa mencintai Tuhan, kalau
dimulai dari kebohongan.
Gue mau belajar jadi diri sendiri untuk menentukan
kebahagian dan beriman kepada Allah swt.
-Aisyah